Selasa, 10 Juli 2007

SOCIAL CAPITAL

Suatu organisasi atau perusahaan tidaklah akan menghasilkan manusia yang kreatif dan bekerja optimal bila hanya memikirkan Sumber daya manusianya saja. Sumber daya manusia masih mengandung kelemahan, atau lebih tepatnya “ketidaklengkapan”. Ia tidak lengkap karena hanya bertolak dari konsep human capital, human labour, dan intelectual capital, yang cenderung melihat manusia secara sempit. Disini manusia lebih dipandang sebagai objek ekonomi, atau sebagai kapital agar ekonomi suatu perusahaan (maupun sebuah wilayah) berkembang.
Agar kita bisa melihat manusia secara lebih utuh, maka satu lagi alat yang dibutuhkan, konsep “social capital” (modal sosial). Hanya dengan memadukan konsep human capital dan social capital, maka analisis kita kepada manusia menjadi lengkap, karena keduanya sesungguhnya saling melengkapi. Jika konsep human capital merupakan hasil dari pemikiran para ahli ekonomi, maka social capital merupakan sumbangan dari ahli-ahli ilmu sosial. Social capital melengkapi pendekatan individual otonom yang merupakan karakter utama ilmu ekonomi dalam melihat manusia.
Dalam konsep human capital, manusia dilihat sebagai objek individual, merupakan kapital ekonomi, dan pengembangannya adalah dengan peningkatan kapasitas individual misalnya berupa peningkatan pengetahuan dan keterampilan. Sebaliknya, social capital melihat manusia sebagai makhluk sosial, yaitu bentuk relasi apa yang terjadi ketika manusia berinteraksi dengan manusia lain. Jika sebuah komunitas digambarkan dalam suatu rangkaian berupa titik (nodes) dan garis (lines), maka human capital menunjuk kepada “titik” sedangkan social capital menunjuk kepada “garis”.

Dalam pandangan yang lebih modern, manusia (human beings) tidak hanya dipandang semata-mata sebagai sumber daya yang pasif dan bekerja sesuai kontrak belaka, namun dipandang sebagai makhluk sosial (social beings) yang dicirikan oleh daya kreatifitasnya yang tak dapat dikalahkan oleh makhluk lain di bumi ini. Manusia dihargai karena memiliki intellectual capital.

Konsep social capital dapat diterapkan untuk upaya pemberdayaan masyarakat. World Bank memberi perhatian yang tinggi dengan mengkaji peranan dan implementasi social capital khususnya untuk pengentasan kemiskinan di negara-negara berkembang. Menurut definisi World Bank, social capital adalah “…a society includes the institutions, the relationships, the attitudes and values that govern interactions among people and contribute to economic and social development”.

Social capital menjadi semacam perekat yang mengikat setiap individu dalam suatu komunitas. Di dalamnya berjalan “nilai saling berbagi” (shared values) serta pengorganisasian peran-peran (rules) yang diekspresikan dalam hubungan-hubungan personal (personal relationships), kepercayaan (trust), dan common sense tentang tanggung jawab bersama.

Jadi, elemen utama dalam social capital mencakup norm, reciprocity, trust, dan network. Social capital tercipta dari ratusan sampai ribuan interaksi antar orang setiap hari. Ia tidak berlokasi di diri pribadi atau dalam struktur sosial, tapi pada space between people. Ia menjadi pelengkap institusi.

Social capital merupakan fenomena yang tumbuh dari bawah, yang berasal dari orang-orang yang membentuk koneksi sosial dan network yang didasarkan atas prinsip kepercayaan dalam hubungan yang saling menguntungkan (mutual reciprocity). Ia tidak dapat diciptakan oleh seorang individual, namun sangat tergantung kepada kapasitas masyarakat.

Pada level mikro, social capital memfungsikan keteraturan sosial (social order) bersama-sama dengan perasaan bersama dan sikap berbagi (sense of belonging and shared behavioral norms). Sebagian ahli menganalogkan social capital sebagai “sinergi” yang dimiliki komunitas tersebut. Komunitas yang bersinergi tinggi adalah komunitas yang bekerjasama dengan kuat, sementara komunitas yang bersinergi rendah cenderung individualistis.

Tidak ada komentar: