Oleh: Jousairi Hasbullah.
Penduduk Indonesia yang sangat miskin masih sangat banyak jumlahnya.Upaya mengangkat mereka dari keterpurukan terbukti tidak mudah. Pertumbuhan ekonomi yang relatif tinggi belum memberi jaminan perubahan bagi mereka yang berada di barisan paling belakang, terkucil dan hilang itu. Program pemberdayaan kaum miskin secara langsung yaitu dengan memberi permodalan juga banyak menuai kendala. Ini terkait dengan begitu kuatnya bandul budaya yang membebani kaum yang sangat miskin. Fakta-fakta ini jika terus berlangsung, akan memperparah terutama masa depan anak-anak kaum miskin. Anak-anak akan hidup dalam kenistaan, ketidakberdayaan, eksploitasi dan mewarisi kemiskinan dari orangtua mereka. Pertanyaannya, adakah jalan lain untuk mengangkat keterpurukan ini?
Pemerintah Indonesia tampaknya berusaha mencari jalan. Mulai tahun 2007 ini, pada Hari Anak Nasional 23 Juli 2007 akan diluncurkan, yaitu Program Keluarga Harapan (PKH). Sebagai langkah awal program ini dicoba di tujuh provinsi (Sumatera Barat, Jawa Barat, DKI Jakarta, Jatim, NTT, Sulawesi Utara dan Gorontalo) dengan target sekitar 500 ribu rumah tangga yang pendataan rumah tangganya telah dimulai di bulan April 2007 yang lalu. Sampai tahun 2009 program ini diharapkan akan mencakup sekitar 6,5 juta rumah tangga. Melalui program ini, pemerintah memberikan bantuan tunai bersyarat (BTB/ CCT: Conditional Cash Transfer) kepada rumah tangga yang sangat miskin.
PKH ini berupa bantuan keuangan dan pemberdayaan secara langsung kepada rumah tangga yang telah terpilih sebagai Rumah Tangga Sangat Miskin (RTSM) dengan syarat RTSM tersebut harus menyekolahkan anaknya hingga minimal tamat SMP (sederajat) memeriksakan kesehatan ibu hamil dan anak usia balita ke fasilitas kesehatan terdekat. Targetnya jelas. Generasi setelah generasi orangtuanya yang sangat miskin kelak dapat hidup lebih sehat, lebih cerdas, dan berpendidikan yang cukup, yang akan membawa suatu transformasi ke arah kelak kehidupan yang lebih sejahtera. Harapan lainnya, mata rantai kemiskinan dapat digunting. Program ini walaupun baik, tetapi masih menyisakan pertanyaannya, mungkinkah akan berhasil dan apa kemungkinan kendalanya?
Sangat Menjanjikan
PKH berbeda dengan program BLT (Bantuan Langsung Tunai). Program yang disebut terakhir adalah bantuan langsung tunai tanpa syarat apapun, dan waktu itu, diberikan kepada rumah tangga miskin dan hampir miskin sebagai respon seketika atas kenaikan BBM Oktober 2005. PKH dirancang dengan target eliminasi kemiskinan yang didasari kerangka pikir yang cukup baik yaitu dengan strategi memotong pewarisan kemiskinan dengan menyiapkan generasi yang lahir dari keluarga yang sangat miskin untuk hidup lebih sehat dan berpendidikan. Dengan kata lain PKH akan dapat memutus rantai bandul berupa ketiadaan mutu modal manusia dan modal kultural yang menjerat rumah tangga yang sangat miskin.
Anak-anak diharuskan bersekolah, tidak hanya dipekerjakan oleh orangtuanya untuk membantu ekonomi rumah tangga. Program ini juga akan memberikan kesadaran pada rumah tangga yang sangat miskin tentang perlunya hidup sehat dan sekaligus memutus budaya tradisional untuk mengobati anak yang sakit kepada pengobatan non medis. Ibu-ibu yang sedang hamil dan anak-anak balita akan dirangsang untuk terus-menerus memeriksakan kesehatannya di fasilitas kesehatan terdekat. Para pendamping yang disiapkan oleh pemerintah akan senantiasa memberi pencerahan dan kesadaran agar rumah tangga yang sangat miskin dapat menjalankan program tersebut.
Program CCT atau PKH ini sebetulnya bukan hal yang baru. Beberapa negara terbilang relatif sukses melaksanakannya seperti Afrika Selatan, Brazil dan Mexico. Dengan merujuk ke pola pemberian CCT di Meksiko dan Brazil, Nancy Birdsall, President of the center of global development, berkomentar “ I think these programs are as close as you can come to a magic bullets in development. They are creating an incentives for families to invest in their own children’ future”(New York Time, Januari 3, 2004). Ini bentuk investasi (human and cultural capital) rumah tangga sangat miskin untuk masa depan anak-anak mereka.
Meksiko memulai program CCT sejak tahun 1997. Pada tahun 2003, di bawah program oportunidades sebanyak 4,5 juta rumah tangga miskin tercakup dalam program atau 20 persen dari total rumah tangga yang ada di negara ini. CCT diberikan dalam 2 (dua) bentuk. Pertama, uang transfer diberikan ke setiap ibu dari rumahtangga miskin yang memiliki anak usia 7-18 tahun untuk bersekolah. Besarnya dana berkisar antara US $ 0.50 sampai US $ 3.20 per hari per rumahtangga. Bentuk yang kedua, CCT senilai US $ 0.75 per hari per rumah tangga diberikan ketika ruta miskin tersebut tengah berobat di klinik kesehatan masyarakat (semacam Puskesmas di Indonesia). Uang ini diniatkan untuk membantu ruta miskin membeli makanan yang bergizi.
Brazil tercatat sebagai negara yang paling awal (1995) yang melaksanakan program sejenis secara massive (menyeluruh) dengan nama program Bolsa Escola. Pada tahun 2003 namanya berubah menjadi Bolsa Familia dan telah membantu sekitar 6.6 juta rumah tangga miskin untuk menyekolahkan anak dan memelihara kesehatan dan gizi anak-anak dan ibu hamil. Besarnya bantuan yaitu antara US$ 0.45 sampai US$ 2.85 per hari per rumah tangga miskin. Begitu juga dengan Afrika Selatan yang sejak tahun 1998 juga melaksanakan Program sejenis PKH ini dengan nama Child Support Grant (CSG). Di Afrika Selatan, selain cash transfer diberikan kepada anak-anak untuk biaya sekolah, dana tersebut juga diberikan ke rumah tangga penyandang cacat (sepanjang mereka mempunyai sertifikat sebagai penyandang cacat) yaitu sebesar US$1.20 per hari per orang. Beberapa negara lain seperti Nicaragua, Bangladesh, Chile, Columbia, Bolivia, Burkina Faso dan Lesotho telah menyelenggrakan program serupa.
Walaupun dalam banyak kasus terjadi exclusion dan inclusion error (mereka yang memperoleh bantuan bersyarat tersebut bukan orang yang tepat atau sebaliknya), tetapi secara umum program ini telah memberi hasil yang positif yaitu meningkatnya angka partisipasi sekolah, menurunnya angka kematian pada bayi dan anak-anak, meningkatnya status gizi dan meningkatnya motivasi hidup anggota rumahtangga miskin. Di Brazil, misalnya, program CCT telah meningkatkan angka partisipasi sekolah anak umur 12-14 tahun sebesar 30 persen. Di Meksiko 70 persen anggota rumah tangga, yang menerima cash transfer, mengalami peningkatan status gizi terutama pada anak anak. Program ini juga telah berkontribusi menurunkan poverty gap sebesar 36 persen antara tahun 1997 dan tahun 1999; dan juga secara signifikan berhasil menurunkan tingkat kesakitan (morbidity rate) sebesar 12 persen, dan 19 persen jumlah “hari sakit” yang dialami oleh penduduk miskin.
Belajar dari pengalaman negara-negara tersebut, cukup alasan untuk menyatakan bahwa program PKH Indonesia ini, secara konsep, sangat menjanjikan untuk dapat mentrasformasikan kehidupan rumah tangga sangat miskin menjadi tidak miskin bagi generasi anak-anaknya.
Bisa Saja Sia-Sia
Walau secara teoritis program ini fisibel, tetapi jika tidak hati-hati, dapat bernasib sama dengan program-program penanggulangan kemiskinan yang lain seperti yang selama ini pernah dijalankan (misalnya program Desa Tertinggal, JPS, Raskin dan beberapa program yang lainnya). Ada beberapa kemungkinan permasalahan kunci yang akan sangat menentukan keberhasilan program.
Pertama, adalah validitas data rumah tangga yang sangat miskin yang dihasilkan. Untuk keperluan PKH ini, pemilihan rumah tangga calon penerima program, seperti halnya program BLT, dipercayakan kepada BPS. Karena program ini ditujukan hanya kepada rumah tangga yang sangat miskin RTSM), salah satu tugas berat itu tentu saja bagaimana memilih rumah tangga yang sangat miskin tersebut. Ini sangat rumit. Karena terkadang bagi masyarakat awam akan sangat sulit membedakan mana rumah tangga yang sangat miskin dan mana rumah tangga yang miskin atau sekadar mendekati miskin.
Karena program ini dilakukan secara bertahap sampai tahun 2009, maka dalam pendataan pun BPS melakukannya, menurut wilayah, secara bertahap pula. Dalam melaksanakan pendataan, cara yang ditempuh BPS secara teoritis akan mampu menghasilkan kelayakan dan kehandalan data. BPS mengaplikasikan prosedur standar yaitu dengan menerapkan beberapa pendekatan seperti kelayakan bangunan fisik yang dikombinasikan dengan kemampuan riel rumah tangga tersebut dalam memenuhi kebutuhan yang paling dasar serta melibatkan in situ jugement/emic judgement sebagai penyempurna verifikasi rumah tangga miskin atau tidak miskin di lapangan. Petugas yang dipercayakan untuk mengoperasionalkan konsep tersebut di lapangan yaitu berupa Tim yang terdiri dari tiga orang petugas yang telah dilatih sebelumnya. Dengan cara ini, kemungkinan ketidakcermatan akan dapat dihindari.
Betapapun baiknya suatu mekanisme pendataan, tidak akan banyak artinya jika di tingkat lokal apakah itu dari tokoh lokal, masyarakat yang merasa dirinya harus dimiskinkan, Kepala Desa, Camat atau Bupati/Walikota terus dilakukan seperti pada pelaksanaan pendataan BLT yang lalu. Bagaimanapun para petugas lapangan yang merupakan tenaga mitra kerja BPS terkadang tidak cukup berdaya menghadapi campur tangan pihak-pihak yang menginginkan suatu rumah tangga dimasukkan ke dalam daftar sebagai calon penerima PKH. Jika ini terjadi, BPS tetap saja tidak akan sepenuhnya mampu memverifikasi satu per satu rumah tangga yang kemungkinan isian karakteristiknya telah dimanipulir di lapangan.
Kedua, katakanlah proses pendataan yang dilakukan oleh BPS berlangsung dengan sangat baik bahkan menghasilkan zero error. Hal ini pun belum menjamin bahwa program PKH ini akan sukses. Performanya akan tergantung kepada peran para pendamping program di lapangan. Dapatkah, dan dengan semangat kemanusiaan yang tulus untuk membantu masyarakat yang sangat miskin, mereka melakukan pendampingan terhadap satu per satu rumah tangga miskin penerima bantuan untuk memberi motivasi, memanusiakan dan menjamin apakah bantuan yang diberikan betul-betul dimanfaatkan sesuai dengan tujuannya. Pengalaman kita selama ini menunjukkan bahwa pada tataran konsep normatif kita cukup kuat, tetapi dalam hal implementasi di lapangan kita lemah terutama dalam hal monitoring, mengantisipasi dan mencarikan solusi dari masalah. Begitu juga dengan kekuatan tekad untuk memastikan bahwa suatu program telah dapat dijalankan dengan efektif, biasanya terabaikan.
Ketiga, sukses PKH akan sangat tergantung kepada komitmen yang implementatif dari pemerintah daerah terutama para Bupati dan Walikota di mana program itu dilaksanakan. Idealnya para Bupati dan Walikota bekerjasama dengan berbagai komponen masyarakat sipil yang ada di daerahnya untuk memastikan bahwa setiap dana yang diterima oleh rumah tangga miskin betul-betul digunakan untuk pendidikan dan pemeliharaan kesehatan ibu hamil dan anak-anak balita.
Komitmen yang implementatif hanya mungkin dapat terlaksana jika para pemimpin daerah juga memiliki atau setidaknya mulai membangun sense of cohesivity dan sense of efficacy (perasaan menyatu dan memberi penghargaan) terhadap lapisan masyarakat yang paling miskin. Perlu dibangun suatu mentalitas bersama yang lahir dari komitmen kuat nihile spectre homini admirabilius (adagium terkenal tentang pentingnya penghormatan terhadap manusia, disitir dari perkataan intelektual Islam Ibnu Qutoibah, yang bergema dan mengilhami rainisan Eropah 400 tahun yang lalu).
Jika kendala-kendala ini dapat diminimalkan dan yang positif dapat dimaksimalkan dengan komitmen dan kesungguhan semua pihak, niscaya upaya memutus rantai kemiskinan lintas generasi dapat menuai sukses. Program ini diyakini akan menjadi the audacity of hope bagi keluarga yang sangat miskin. Jika tidak, hasilnyapun niscaya akan sebaliknya dan kita kembali ke laptop lama.
Artikel ini dimuat di Harian Republika. 23 Juli 2007
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar