BONDING SOCIAL CAPITAL DAN PEMIMPIN INDONESIA
Oleh: Jousairi Hasbullah
Bonding Social Capital dan Pemimpin IndonesiaJousairi Hasbullah *)Suatu siang di penghujung bulan November 2006 di Executive Lounge Graha Niaga Lantai 27 saya dan Robby makan siang berdua. Di sela itu, kami berdiskusi tentang beberapa permasalahan bangsa khususnya yang berkaitan dengan modal sosial dan pembangunan yang selama ini terasa kurang mendapat sentuhan. Salah satu hal menarik yang dikemukakan Robby adalah bagaimana dia melihat modal sosial bangsa yang kian hancur. Sementara itu, para pemimpin, di semua lini, sepertinya belum memberi perhatian yang berarti. “Menerbitkan buku yang berisi pemikiran tentang modal sosial barangkali akan menjadi sumbangan berarti dari saya untuk bangsa” kata Robby.Dalam beberapa hal, terutama mengenai kaitan antara pemimpin dengan modal sosial, kami agak berbeda pendapat. Latar belakang Robby yang kaya dengan pengalaman memimpin Bank Niaga, memimpin Garuda dan membangun Bank Mandiri, membawanya ke suatu kesimpulan bahwa modal sosial itu dapat terbangun, di bidang apapun, tergantung pada peran pemimpinnya. Saya justru berpikir sebaliknya, tipologi, watak, dan karakteristik kepemimpinan seorang pemimpin akan ditentukan oleh budaya dan spektrum modal sosial yang berkembang di masyarakat di mana pemimpin itu dilahirkan dan dibesarkan. Dalam perjalanan diskusi yang intens dan panjang akhirnya kami memiliki pandangan yang sama bahwa ada resiprokalistik menyangkut hubungan antara kedua dimensi tersebut.Saya meyakini bahwa salah satu problema besar bangsa terletak pada para pemimpinnya. Apakah itu pemimpin di pemerintahan, legislatif, yudikatif, dunia usaha maupun LSM dan di lembaga kemasyarakatan lainnya. Pemimpin yang terlahir umumnya berasal dari suatu pola budaya komunitas dengan modal sosial yang terikat ke dalam demikian kuatnya (bonding social capital) Inilah yang kini tengah mewarnai tipologi modal sosial di Indonesia. Modal sosial komunitas yang disebut bonding adalah suatu bentuk pola hubungan sosial yang selalu berorientasi kepada nilai dan pandangan hidup ke dalam komunitas dan memandang budaya di luar komunitas sebagai asing bahkan sebagai sesuatu yang “kurang”. Apa yang terbaik adalah apa yang turun temurun telah menjadi nilai dan norma keturunan, komunitas atau sukunya. Pandangan tentang kemaslahatan, prestasi, pengabdian, hubungan-hubungan sosial dan orientasi jaringan terikat dan diikat dengan kuat untuk senantiasa melihat dan berorientasi ke dalam komunitas. Persinggungan dengan budaya luar jika pun terjadi, sifatnya cenderung formalistik dengan jarak emosional yang renggang. Dari situasi seperti yang disebutkan, Indonesia melahirkan para pemimpinnya. Seseorang itu dapat menjadi pemimpin tetapi, pikiran, tangan dan kaki mereka seperti terbelenggu oleh rantai budaya bonding komunitas yang selama ini membesarkan mereka. Pada spektrum ini, korupsi dan perbuatan menyimpang lainnya akan sah-sah saja dilakukan selama masyarakat bonding komunitas/kelompok/suku asalnya tidak mempersoalkan (bahkan menerima). Inilah juga faktor utama mengapa para pemimpin Indonesia, di semua jenis dan lini, kurang memiliki sensitifitas untuk memerangi korupsi, penyimpangan dan dengan mentalitas yang hanya berorientasi pada diri sendiri. Dinamika bonding social capital akan memunculkan para pemimpin yang memiliki semangat kemanusiaan lintas suku, agama, kelompok, keturunan dan sejenisnya yang sangat tipis. Sehingga dorongan kuat untuk berbuat yang terbaik mencapai tujuan bersama, dan untuk semua manusia, hampir tidak muncul. Dimensi ini yang dapat menerangkan mengapa sulit sekali seorang pemimpin dapat menghasilkan prestasi pencapaian yang tinggi.Semangat bonding juga akan melahirkan para pemimpin yang cepat puas dan menghindari kompetisi kelas dunia. Seorang pemimpin yang telah dapat dipandang oleh komunitasnya bahwa yang bersangkutan berhasil dalam ukuran nilai-nilai lokal, telah akan merasa cukup puas. Indonesia didominasi oleh semangat ini. Sangat jarang seorang pemimpin di Indonesia mencita-citakan untuk menjadi pemimpin dengan kaliber internasional: menjadi Sekjen PBB atau menjadi pemimpin lembaga internasional.Kita dapat melihat contoh kecil saja, di bidang olah raga khususnya sepak bola. Indonesia adalah negeri dengan pemain bola di antara yang terbanyak di dunia, dengan dana besar dan pelatih kaliber internasional yang silih berganti, tetapi tidak mampu memunculkan prestasi dunia. Penyebab utamanya, tidak ada pemimpin bola dan pemain yang sama-sama membangun mentalitas bridging dan linking (menjembatani dan terkait) ke luar dengan tekad kuat bahwa pemain saya atau dari sisi pemain, saya harus menjadi pemain terbaiknya Manchester United di sekian tahun ke depan. Ini terjadi karena dilatari oleh semangat bonding social capital yang begitu kental. Saya cukup menjadi pemain lokal, tokh kebanggaan saya di tengah komunitas lokal telah dapat diraih. Tipologi semangat ini merasuki hampir semua dimensi kehidupan termasuk dalam diri para pemimpin Indonesia.Modal sosial yang bonding (terikat ke dalam) dengan eksternalitas negatif yang tumbuh di masyarakat akan sulit melahirkan pemimpin baru yang memiliki keunggulan budaya, berorientasi nasional dan internasional, tanpa harus mengabaikan kepentingan lokal.. Di Indonesia, para pemimpin yang muncul umumnya hanya dapat dipandang layak untuk memimpin suku, sekte, dan atau kelompok bonding sejenis., tetapi jauh dari memadai untuk memimpin bangsa. Ini tidak terlepas dari kesulitan sang calon pemimpin untuk menyesuaikan dengan tuntutan negara bangsa yang pluralis. Bahwasanya pemimpin baru yang muncul harus lahir dari suatu lingkungan budaya yang memiliki kekuatan silang budaya (cross cultural) dengan visi kemanusiaan yang memberikan sense of efficacy (memberikan perasaan berharga) bagi semua lapisan manusia terlepas dari ikatan bonding ras, suku, agama maupun golongan. Dalam bahasa lain, memiliki modal sosial yang positif kuat. Inilah yang langka dan sekaligus kesulitan yang kita hadapi. Bukankah kita telah berulangkali menyaksikan bahwa untuk sekadar memilih Menteri, dari 100 juta lebih penduduk dewasa Indonesia, cenderung dari itu ke itu saja. Seseorang yang pernah direshuffle pun bisa terangkat kembali pada masa yang berbeda, karena kita, dan harus kita akui, tidak memiliki koleksi pemimpin unggul yang lahir dari komunitas dengan modal sosial yang berenergi dan dengan rentang kepercayaan (radius of trust) yang lebar.Sangat sulit bagi kita untuk dapat membangun negeri ini dengan sukses tanpa adanya kesadaran dan kekuatan kemampuan pemimpin Indonesia untuk mentransformasikan masyarakat yang bonding ini ke arah yang lebih bridging dan linking social capital. Inilah kontribusi yang, saya kira, sangat besar dari bukunya Robby Djohan, Leaders and Social Capital. Ini tidak hanya merefleksikan kekayaan ide dari Robby tetapi lebih jauh merupakan sumbangsih yang sangat berharga bagi siapapun warga bangsa yang kelak akan menjadi pemimpin di semua jenis dan tingkatan kepemimpinan.*) Penulis adalah cendikiawan, penulis buku “Social Capital: Menuju Keunggulan Budaya Manusia Indonesia”
Kamis, 19 Juli 2007
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar