JOUSAIRI HASBULLAH:
1. Hampir semua permasalahan pembangunan di Indonesia berakar dari permasalahan modal social kita yang rendah. Masayarakat hidup dalam kotak-kotak sempit kelompok suku, kepercayaan, desa dan sejenisnya yang kuat mempertahankan beberapa nilai dan kebiasaan turun temurun yang sangat sulit untuk menyesuaikan dengan tuntutan baru perubahan dunia. Kita dengan mudah menyesuaikan dalam cara berpakaian, hiburan, dan hal-hal yang trivial lainnya, tetapi sangat sulit untuk merubah nilai-nilai budaya kita dari yang bonding primitif ke arah yang lebih bridging, terbuka dan toleran.
2.Praktek manusia Indonesia dalam beragama sudah waktunya untuk kita diskusikan bersama dan melakukan pengkajian ulang. Ada tiga kata yang bisa positif dan bisa sangat negatif pengaruhnya terhadap pembangunan manusia Indonesia: ketiganya adalah: Ketentuan Tuhan, Sabar dan Ujian Tuhan. Serorang yang cukup terdidik pun acap berkata, ban mobil saya yang gundul melaju di jalan tol, ya ndak apa apa, tokh kecelakaan atau mati itu udah ada garis ketentuan tuhan. Naik pesawat yang rusak juga tidak apa-apa, tokh kalau mau mati, ya mati, Udah ada ketentuan tuhan. Tanaman kebun seorang tetangga mati di musim kemarau,tidak dia sirami, ya mati saja, karena hidup atau mati pohon itu, udah ditentukan tuhan. Saya miskin, ya sudah, itukan sudah ketentuan tuhan. Jemaah haji kelaparan ya sudah, mau apa, itukan ujian tuhan. Kita perlu sabar, sabar saja. KETENTUAN TUHAN....ini diyakini oleh ratusan juta Muslim Indonesia, ratusan juta orang mulai Afrika yang kelaparan, ratusan juta muslim Asia selatan. Umat Islam tertinggal dalam banyak hal...Miskin, bodoh, tidak kreatif, pasif.. tokh itu sudah merupakan KETENTUAN TUHAN.
3. Jika kedudukan ketentuan Tuhan itu memang seperti yang diyakini itu, ya sudah. mengapa kita harus berteriak bahwa kita miskin. pembunuhan di jalan raya dengan para pengendara yang semberono, ya sudah, itu sudah ketentuan Tuhan. Korupsi, manipulasi, ketidakpedulian, idel dll ya sudah, itukan sudah ketentuan Tuhan. ya Sabar, ini semua kan Ujian Tuhan. Sabar. Untuk apa ganti Presiden, ganti Menteri, soal maju atau miskin ya itukan Ketentuan Tuhan.
4. Jika pemahaman di atas keliru, kita barangkali sudah waktunya untuk menggugat para ahli agama, EMBOK YA TEGAS, TEGASLAH, JANGAN NGAMBANG. Tegas ! !. Jika orang tidak mau belajar lalu bodoh, ya Ketentuan Tuhan itu ya BODOH, karena Tidak Mau Belajar. Miskin karena tidak mau berubah dengan tuntutan perubahan. Kecelakaan, ribuan manusia meninggal, karena manusia ugal-ugalan di jalan raya, ya itu barangkali yang disebut ketentuan Tuhan. Apa sie maksud sebenarnya yang disebut Ketentuan TUHAN. Menjelaskannya harus massif, sistematis, sistemik, jangan hanya melalui khotbah jumat yang sporadis. Kalau point tiga yang benar, ya kita luruskanlah. LURUSKAN, karena hampir semua PERSOALAN bangsa ini, dan dunia muslim lainnya, muncul dari pemahaman seperti pada poin dua di atas.
5.Jika ke dua-duanya yang benar, dimana seharusnya masyarakat memberi tempat, kapan pada poin dua dan kapan poin tiga berlaku. Kata Ketentuan, Sabar, dan Ujian bukankah ratusan tahun telah termanipulasikan yang berdampak luas terhadap nasib kehidupan umat manusia Muslim yang terus terbelakang.Seluruh upaya perbaikan kualitas hidup manusia Indonesia akan terus terdistorsikan dan mendapatakan perlawanan budaya berupa kepasifan ke naifan... karena upaya maksimal tidak diperlukan..KETENTUAN TUHAN sudah ada. Takdir dipahami sebagai sesuatu yang telah terskenario dengan baku, pasti untuk setiap insan, bukan kita pahami sebagai the end result dari proses menjalankan hukum Tuhan itu sendiri.
Mana yang benar, tugas para ahli agama meluruskan....LURUSKAN SECARA MASSIF DAN BENAR...Saya hanya bertanya karena saya bukan ahli agama.
Perlukah kita melakukan Reformasi Total pemahaman kita terhadap persoalan di atas.
Minggu, 22 Juli 2007
MASA DEPAN ANAK MISKIN INDONESIA The Future of Indonesia' poor children
Oleh: Jousairi Hasbullah.
Penduduk Indonesia yang sangat miskin masih sangat banyak jumlahnya.Upaya mengangkat mereka dari keterpurukan terbukti tidak mudah. Pertumbuhan ekonomi yang relatif tinggi belum memberi jaminan perubahan bagi mereka yang berada di barisan paling belakang, terkucil dan hilang itu. Program pemberdayaan kaum miskin secara langsung yaitu dengan memberi permodalan juga banyak menuai kendala. Ini terkait dengan begitu kuatnya bandul budaya yang membebani kaum yang sangat miskin. Fakta-fakta ini jika terus berlangsung, akan memperparah terutama masa depan anak-anak kaum miskin. Anak-anak akan hidup dalam kenistaan, ketidakberdayaan, eksploitasi dan mewarisi kemiskinan dari orangtua mereka. Pertanyaannya, adakah jalan lain untuk mengangkat keterpurukan ini?
Pemerintah Indonesia tampaknya berusaha mencari jalan. Mulai tahun 2007 ini, pada Hari Anak Nasional 23 Juli 2007 akan diluncurkan, yaitu Program Keluarga Harapan (PKH). Sebagai langkah awal program ini dicoba di tujuh provinsi (Sumatera Barat, Jawa Barat, DKI Jakarta, Jatim, NTT, Sulawesi Utara dan Gorontalo) dengan target sekitar 500 ribu rumah tangga yang pendataan rumah tangganya telah dimulai di bulan April 2007 yang lalu. Sampai tahun 2009 program ini diharapkan akan mencakup sekitar 6,5 juta rumah tangga. Melalui program ini, pemerintah memberikan bantuan tunai bersyarat (BTB/ CCT: Conditional Cash Transfer) kepada rumah tangga yang sangat miskin.
PKH ini berupa bantuan keuangan dan pemberdayaan secara langsung kepada rumah tangga yang telah terpilih sebagai Rumah Tangga Sangat Miskin (RTSM) dengan syarat RTSM tersebut harus menyekolahkan anaknya hingga minimal tamat SMP (sederajat) memeriksakan kesehatan ibu hamil dan anak usia balita ke fasilitas kesehatan terdekat. Targetnya jelas. Generasi setelah generasi orangtuanya yang sangat miskin kelak dapat hidup lebih sehat, lebih cerdas, dan berpendidikan yang cukup, yang akan membawa suatu transformasi ke arah kelak kehidupan yang lebih sejahtera. Harapan lainnya, mata rantai kemiskinan dapat digunting. Program ini walaupun baik, tetapi masih menyisakan pertanyaannya, mungkinkah akan berhasil dan apa kemungkinan kendalanya?
Sangat Menjanjikan
PKH berbeda dengan program BLT (Bantuan Langsung Tunai). Program yang disebut terakhir adalah bantuan langsung tunai tanpa syarat apapun, dan waktu itu, diberikan kepada rumah tangga miskin dan hampir miskin sebagai respon seketika atas kenaikan BBM Oktober 2005. PKH dirancang dengan target eliminasi kemiskinan yang didasari kerangka pikir yang cukup baik yaitu dengan strategi memotong pewarisan kemiskinan dengan menyiapkan generasi yang lahir dari keluarga yang sangat miskin untuk hidup lebih sehat dan berpendidikan. Dengan kata lain PKH akan dapat memutus rantai bandul berupa ketiadaan mutu modal manusia dan modal kultural yang menjerat rumah tangga yang sangat miskin.
Anak-anak diharuskan bersekolah, tidak hanya dipekerjakan oleh orangtuanya untuk membantu ekonomi rumah tangga. Program ini juga akan memberikan kesadaran pada rumah tangga yang sangat miskin tentang perlunya hidup sehat dan sekaligus memutus budaya tradisional untuk mengobati anak yang sakit kepada pengobatan non medis. Ibu-ibu yang sedang hamil dan anak-anak balita akan dirangsang untuk terus-menerus memeriksakan kesehatannya di fasilitas kesehatan terdekat. Para pendamping yang disiapkan oleh pemerintah akan senantiasa memberi pencerahan dan kesadaran agar rumah tangga yang sangat miskin dapat menjalankan program tersebut.
Program CCT atau PKH ini sebetulnya bukan hal yang baru. Beberapa negara terbilang relatif sukses melaksanakannya seperti Afrika Selatan, Brazil dan Mexico. Dengan merujuk ke pola pemberian CCT di Meksiko dan Brazil, Nancy Birdsall, President of the center of global development, berkomentar “ I think these programs are as close as you can come to a magic bullets in development. They are creating an incentives for families to invest in their own children’ future”(New York Time, Januari 3, 2004). Ini bentuk investasi (human and cultural capital) rumah tangga sangat miskin untuk masa depan anak-anak mereka.
Meksiko memulai program CCT sejak tahun 1997. Pada tahun 2003, di bawah program oportunidades sebanyak 4,5 juta rumah tangga miskin tercakup dalam program atau 20 persen dari total rumah tangga yang ada di negara ini. CCT diberikan dalam 2 (dua) bentuk. Pertama, uang transfer diberikan ke setiap ibu dari rumahtangga miskin yang memiliki anak usia 7-18 tahun untuk bersekolah. Besarnya dana berkisar antara US $ 0.50 sampai US $ 3.20 per hari per rumahtangga. Bentuk yang kedua, CCT senilai US $ 0.75 per hari per rumah tangga diberikan ketika ruta miskin tersebut tengah berobat di klinik kesehatan masyarakat (semacam Puskesmas di Indonesia). Uang ini diniatkan untuk membantu ruta miskin membeli makanan yang bergizi.
Brazil tercatat sebagai negara yang paling awal (1995) yang melaksanakan program sejenis secara massive (menyeluruh) dengan nama program Bolsa Escola. Pada tahun 2003 namanya berubah menjadi Bolsa Familia dan telah membantu sekitar 6.6 juta rumah tangga miskin untuk menyekolahkan anak dan memelihara kesehatan dan gizi anak-anak dan ibu hamil. Besarnya bantuan yaitu antara US$ 0.45 sampai US$ 2.85 per hari per rumah tangga miskin. Begitu juga dengan Afrika Selatan yang sejak tahun 1998 juga melaksanakan Program sejenis PKH ini dengan nama Child Support Grant (CSG). Di Afrika Selatan, selain cash transfer diberikan kepada anak-anak untuk biaya sekolah, dana tersebut juga diberikan ke rumah tangga penyandang cacat (sepanjang mereka mempunyai sertifikat sebagai penyandang cacat) yaitu sebesar US$1.20 per hari per orang. Beberapa negara lain seperti Nicaragua, Bangladesh, Chile, Columbia, Bolivia, Burkina Faso dan Lesotho telah menyelenggrakan program serupa.
Walaupun dalam banyak kasus terjadi exclusion dan inclusion error (mereka yang memperoleh bantuan bersyarat tersebut bukan orang yang tepat atau sebaliknya), tetapi secara umum program ini telah memberi hasil yang positif yaitu meningkatnya angka partisipasi sekolah, menurunnya angka kematian pada bayi dan anak-anak, meningkatnya status gizi dan meningkatnya motivasi hidup anggota rumahtangga miskin. Di Brazil, misalnya, program CCT telah meningkatkan angka partisipasi sekolah anak umur 12-14 tahun sebesar 30 persen. Di Meksiko 70 persen anggota rumah tangga, yang menerima cash transfer, mengalami peningkatan status gizi terutama pada anak anak. Program ini juga telah berkontribusi menurunkan poverty gap sebesar 36 persen antara tahun 1997 dan tahun 1999; dan juga secara signifikan berhasil menurunkan tingkat kesakitan (morbidity rate) sebesar 12 persen, dan 19 persen jumlah “hari sakit” yang dialami oleh penduduk miskin.
Belajar dari pengalaman negara-negara tersebut, cukup alasan untuk menyatakan bahwa program PKH Indonesia ini, secara konsep, sangat menjanjikan untuk dapat mentrasformasikan kehidupan rumah tangga sangat miskin menjadi tidak miskin bagi generasi anak-anaknya.
Bisa Saja Sia-Sia
Walau secara teoritis program ini fisibel, tetapi jika tidak hati-hati, dapat bernasib sama dengan program-program penanggulangan kemiskinan yang lain seperti yang selama ini pernah dijalankan (misalnya program Desa Tertinggal, JPS, Raskin dan beberapa program yang lainnya). Ada beberapa kemungkinan permasalahan kunci yang akan sangat menentukan keberhasilan program.
Pertama, adalah validitas data rumah tangga yang sangat miskin yang dihasilkan. Untuk keperluan PKH ini, pemilihan rumah tangga calon penerima program, seperti halnya program BLT, dipercayakan kepada BPS. Karena program ini ditujukan hanya kepada rumah tangga yang sangat miskin RTSM), salah satu tugas berat itu tentu saja bagaimana memilih rumah tangga yang sangat miskin tersebut. Ini sangat rumit. Karena terkadang bagi masyarakat awam akan sangat sulit membedakan mana rumah tangga yang sangat miskin dan mana rumah tangga yang miskin atau sekadar mendekati miskin.
Karena program ini dilakukan secara bertahap sampai tahun 2009, maka dalam pendataan pun BPS melakukannya, menurut wilayah, secara bertahap pula. Dalam melaksanakan pendataan, cara yang ditempuh BPS secara teoritis akan mampu menghasilkan kelayakan dan kehandalan data. BPS mengaplikasikan prosedur standar yaitu dengan menerapkan beberapa pendekatan seperti kelayakan bangunan fisik yang dikombinasikan dengan kemampuan riel rumah tangga tersebut dalam memenuhi kebutuhan yang paling dasar serta melibatkan in situ jugement/emic judgement sebagai penyempurna verifikasi rumah tangga miskin atau tidak miskin di lapangan. Petugas yang dipercayakan untuk mengoperasionalkan konsep tersebut di lapangan yaitu berupa Tim yang terdiri dari tiga orang petugas yang telah dilatih sebelumnya. Dengan cara ini, kemungkinan ketidakcermatan akan dapat dihindari.
Betapapun baiknya suatu mekanisme pendataan, tidak akan banyak artinya jika di tingkat lokal apakah itu dari tokoh lokal, masyarakat yang merasa dirinya harus dimiskinkan, Kepala Desa, Camat atau Bupati/Walikota terus dilakukan seperti pada pelaksanaan pendataan BLT yang lalu. Bagaimanapun para petugas lapangan yang merupakan tenaga mitra kerja BPS terkadang tidak cukup berdaya menghadapi campur tangan pihak-pihak yang menginginkan suatu rumah tangga dimasukkan ke dalam daftar sebagai calon penerima PKH. Jika ini terjadi, BPS tetap saja tidak akan sepenuhnya mampu memverifikasi satu per satu rumah tangga yang kemungkinan isian karakteristiknya telah dimanipulir di lapangan.
Kedua, katakanlah proses pendataan yang dilakukan oleh BPS berlangsung dengan sangat baik bahkan menghasilkan zero error. Hal ini pun belum menjamin bahwa program PKH ini akan sukses. Performanya akan tergantung kepada peran para pendamping program di lapangan. Dapatkah, dan dengan semangat kemanusiaan yang tulus untuk membantu masyarakat yang sangat miskin, mereka melakukan pendampingan terhadap satu per satu rumah tangga miskin penerima bantuan untuk memberi motivasi, memanusiakan dan menjamin apakah bantuan yang diberikan betul-betul dimanfaatkan sesuai dengan tujuannya. Pengalaman kita selama ini menunjukkan bahwa pada tataran konsep normatif kita cukup kuat, tetapi dalam hal implementasi di lapangan kita lemah terutama dalam hal monitoring, mengantisipasi dan mencarikan solusi dari masalah. Begitu juga dengan kekuatan tekad untuk memastikan bahwa suatu program telah dapat dijalankan dengan efektif, biasanya terabaikan.
Ketiga, sukses PKH akan sangat tergantung kepada komitmen yang implementatif dari pemerintah daerah terutama para Bupati dan Walikota di mana program itu dilaksanakan. Idealnya para Bupati dan Walikota bekerjasama dengan berbagai komponen masyarakat sipil yang ada di daerahnya untuk memastikan bahwa setiap dana yang diterima oleh rumah tangga miskin betul-betul digunakan untuk pendidikan dan pemeliharaan kesehatan ibu hamil dan anak-anak balita.
Komitmen yang implementatif hanya mungkin dapat terlaksana jika para pemimpin daerah juga memiliki atau setidaknya mulai membangun sense of cohesivity dan sense of efficacy (perasaan menyatu dan memberi penghargaan) terhadap lapisan masyarakat yang paling miskin. Perlu dibangun suatu mentalitas bersama yang lahir dari komitmen kuat nihile spectre homini admirabilius (adagium terkenal tentang pentingnya penghormatan terhadap manusia, disitir dari perkataan intelektual Islam Ibnu Qutoibah, yang bergema dan mengilhami rainisan Eropah 400 tahun yang lalu).
Jika kendala-kendala ini dapat diminimalkan dan yang positif dapat dimaksimalkan dengan komitmen dan kesungguhan semua pihak, niscaya upaya memutus rantai kemiskinan lintas generasi dapat menuai sukses. Program ini diyakini akan menjadi the audacity of hope bagi keluarga yang sangat miskin. Jika tidak, hasilnyapun niscaya akan sebaliknya dan kita kembali ke laptop lama.
Artikel ini dimuat di Harian Republika. 23 Juli 2007
Penduduk Indonesia yang sangat miskin masih sangat banyak jumlahnya.Upaya mengangkat mereka dari keterpurukan terbukti tidak mudah. Pertumbuhan ekonomi yang relatif tinggi belum memberi jaminan perubahan bagi mereka yang berada di barisan paling belakang, terkucil dan hilang itu. Program pemberdayaan kaum miskin secara langsung yaitu dengan memberi permodalan juga banyak menuai kendala. Ini terkait dengan begitu kuatnya bandul budaya yang membebani kaum yang sangat miskin. Fakta-fakta ini jika terus berlangsung, akan memperparah terutama masa depan anak-anak kaum miskin. Anak-anak akan hidup dalam kenistaan, ketidakberdayaan, eksploitasi dan mewarisi kemiskinan dari orangtua mereka. Pertanyaannya, adakah jalan lain untuk mengangkat keterpurukan ini?
Pemerintah Indonesia tampaknya berusaha mencari jalan. Mulai tahun 2007 ini, pada Hari Anak Nasional 23 Juli 2007 akan diluncurkan, yaitu Program Keluarga Harapan (PKH). Sebagai langkah awal program ini dicoba di tujuh provinsi (Sumatera Barat, Jawa Barat, DKI Jakarta, Jatim, NTT, Sulawesi Utara dan Gorontalo) dengan target sekitar 500 ribu rumah tangga yang pendataan rumah tangganya telah dimulai di bulan April 2007 yang lalu. Sampai tahun 2009 program ini diharapkan akan mencakup sekitar 6,5 juta rumah tangga. Melalui program ini, pemerintah memberikan bantuan tunai bersyarat (BTB/ CCT: Conditional Cash Transfer) kepada rumah tangga yang sangat miskin.
PKH ini berupa bantuan keuangan dan pemberdayaan secara langsung kepada rumah tangga yang telah terpilih sebagai Rumah Tangga Sangat Miskin (RTSM) dengan syarat RTSM tersebut harus menyekolahkan anaknya hingga minimal tamat SMP (sederajat) memeriksakan kesehatan ibu hamil dan anak usia balita ke fasilitas kesehatan terdekat. Targetnya jelas. Generasi setelah generasi orangtuanya yang sangat miskin kelak dapat hidup lebih sehat, lebih cerdas, dan berpendidikan yang cukup, yang akan membawa suatu transformasi ke arah kelak kehidupan yang lebih sejahtera. Harapan lainnya, mata rantai kemiskinan dapat digunting. Program ini walaupun baik, tetapi masih menyisakan pertanyaannya, mungkinkah akan berhasil dan apa kemungkinan kendalanya?
Sangat Menjanjikan
PKH berbeda dengan program BLT (Bantuan Langsung Tunai). Program yang disebut terakhir adalah bantuan langsung tunai tanpa syarat apapun, dan waktu itu, diberikan kepada rumah tangga miskin dan hampir miskin sebagai respon seketika atas kenaikan BBM Oktober 2005. PKH dirancang dengan target eliminasi kemiskinan yang didasari kerangka pikir yang cukup baik yaitu dengan strategi memotong pewarisan kemiskinan dengan menyiapkan generasi yang lahir dari keluarga yang sangat miskin untuk hidup lebih sehat dan berpendidikan. Dengan kata lain PKH akan dapat memutus rantai bandul berupa ketiadaan mutu modal manusia dan modal kultural yang menjerat rumah tangga yang sangat miskin.
Anak-anak diharuskan bersekolah, tidak hanya dipekerjakan oleh orangtuanya untuk membantu ekonomi rumah tangga. Program ini juga akan memberikan kesadaran pada rumah tangga yang sangat miskin tentang perlunya hidup sehat dan sekaligus memutus budaya tradisional untuk mengobati anak yang sakit kepada pengobatan non medis. Ibu-ibu yang sedang hamil dan anak-anak balita akan dirangsang untuk terus-menerus memeriksakan kesehatannya di fasilitas kesehatan terdekat. Para pendamping yang disiapkan oleh pemerintah akan senantiasa memberi pencerahan dan kesadaran agar rumah tangga yang sangat miskin dapat menjalankan program tersebut.
Program CCT atau PKH ini sebetulnya bukan hal yang baru. Beberapa negara terbilang relatif sukses melaksanakannya seperti Afrika Selatan, Brazil dan Mexico. Dengan merujuk ke pola pemberian CCT di Meksiko dan Brazil, Nancy Birdsall, President of the center of global development, berkomentar “ I think these programs are as close as you can come to a magic bullets in development. They are creating an incentives for families to invest in their own children’ future”(New York Time, Januari 3, 2004). Ini bentuk investasi (human and cultural capital) rumah tangga sangat miskin untuk masa depan anak-anak mereka.
Meksiko memulai program CCT sejak tahun 1997. Pada tahun 2003, di bawah program oportunidades sebanyak 4,5 juta rumah tangga miskin tercakup dalam program atau 20 persen dari total rumah tangga yang ada di negara ini. CCT diberikan dalam 2 (dua) bentuk. Pertama, uang transfer diberikan ke setiap ibu dari rumahtangga miskin yang memiliki anak usia 7-18 tahun untuk bersekolah. Besarnya dana berkisar antara US $ 0.50 sampai US $ 3.20 per hari per rumahtangga. Bentuk yang kedua, CCT senilai US $ 0.75 per hari per rumah tangga diberikan ketika ruta miskin tersebut tengah berobat di klinik kesehatan masyarakat (semacam Puskesmas di Indonesia). Uang ini diniatkan untuk membantu ruta miskin membeli makanan yang bergizi.
Brazil tercatat sebagai negara yang paling awal (1995) yang melaksanakan program sejenis secara massive (menyeluruh) dengan nama program Bolsa Escola. Pada tahun 2003 namanya berubah menjadi Bolsa Familia dan telah membantu sekitar 6.6 juta rumah tangga miskin untuk menyekolahkan anak dan memelihara kesehatan dan gizi anak-anak dan ibu hamil. Besarnya bantuan yaitu antara US$ 0.45 sampai US$ 2.85 per hari per rumah tangga miskin. Begitu juga dengan Afrika Selatan yang sejak tahun 1998 juga melaksanakan Program sejenis PKH ini dengan nama Child Support Grant (CSG). Di Afrika Selatan, selain cash transfer diberikan kepada anak-anak untuk biaya sekolah, dana tersebut juga diberikan ke rumah tangga penyandang cacat (sepanjang mereka mempunyai sertifikat sebagai penyandang cacat) yaitu sebesar US$1.20 per hari per orang. Beberapa negara lain seperti Nicaragua, Bangladesh, Chile, Columbia, Bolivia, Burkina Faso dan Lesotho telah menyelenggrakan program serupa.
Walaupun dalam banyak kasus terjadi exclusion dan inclusion error (mereka yang memperoleh bantuan bersyarat tersebut bukan orang yang tepat atau sebaliknya), tetapi secara umum program ini telah memberi hasil yang positif yaitu meningkatnya angka partisipasi sekolah, menurunnya angka kematian pada bayi dan anak-anak, meningkatnya status gizi dan meningkatnya motivasi hidup anggota rumahtangga miskin. Di Brazil, misalnya, program CCT telah meningkatkan angka partisipasi sekolah anak umur 12-14 tahun sebesar 30 persen. Di Meksiko 70 persen anggota rumah tangga, yang menerima cash transfer, mengalami peningkatan status gizi terutama pada anak anak. Program ini juga telah berkontribusi menurunkan poverty gap sebesar 36 persen antara tahun 1997 dan tahun 1999; dan juga secara signifikan berhasil menurunkan tingkat kesakitan (morbidity rate) sebesar 12 persen, dan 19 persen jumlah “hari sakit” yang dialami oleh penduduk miskin.
Belajar dari pengalaman negara-negara tersebut, cukup alasan untuk menyatakan bahwa program PKH Indonesia ini, secara konsep, sangat menjanjikan untuk dapat mentrasformasikan kehidupan rumah tangga sangat miskin menjadi tidak miskin bagi generasi anak-anaknya.
Bisa Saja Sia-Sia
Walau secara teoritis program ini fisibel, tetapi jika tidak hati-hati, dapat bernasib sama dengan program-program penanggulangan kemiskinan yang lain seperti yang selama ini pernah dijalankan (misalnya program Desa Tertinggal, JPS, Raskin dan beberapa program yang lainnya). Ada beberapa kemungkinan permasalahan kunci yang akan sangat menentukan keberhasilan program.
Pertama, adalah validitas data rumah tangga yang sangat miskin yang dihasilkan. Untuk keperluan PKH ini, pemilihan rumah tangga calon penerima program, seperti halnya program BLT, dipercayakan kepada BPS. Karena program ini ditujukan hanya kepada rumah tangga yang sangat miskin RTSM), salah satu tugas berat itu tentu saja bagaimana memilih rumah tangga yang sangat miskin tersebut. Ini sangat rumit. Karena terkadang bagi masyarakat awam akan sangat sulit membedakan mana rumah tangga yang sangat miskin dan mana rumah tangga yang miskin atau sekadar mendekati miskin.
Karena program ini dilakukan secara bertahap sampai tahun 2009, maka dalam pendataan pun BPS melakukannya, menurut wilayah, secara bertahap pula. Dalam melaksanakan pendataan, cara yang ditempuh BPS secara teoritis akan mampu menghasilkan kelayakan dan kehandalan data. BPS mengaplikasikan prosedur standar yaitu dengan menerapkan beberapa pendekatan seperti kelayakan bangunan fisik yang dikombinasikan dengan kemampuan riel rumah tangga tersebut dalam memenuhi kebutuhan yang paling dasar serta melibatkan in situ jugement/emic judgement sebagai penyempurna verifikasi rumah tangga miskin atau tidak miskin di lapangan. Petugas yang dipercayakan untuk mengoperasionalkan konsep tersebut di lapangan yaitu berupa Tim yang terdiri dari tiga orang petugas yang telah dilatih sebelumnya. Dengan cara ini, kemungkinan ketidakcermatan akan dapat dihindari.
Betapapun baiknya suatu mekanisme pendataan, tidak akan banyak artinya jika di tingkat lokal apakah itu dari tokoh lokal, masyarakat yang merasa dirinya harus dimiskinkan, Kepala Desa, Camat atau Bupati/Walikota terus dilakukan seperti pada pelaksanaan pendataan BLT yang lalu. Bagaimanapun para petugas lapangan yang merupakan tenaga mitra kerja BPS terkadang tidak cukup berdaya menghadapi campur tangan pihak-pihak yang menginginkan suatu rumah tangga dimasukkan ke dalam daftar sebagai calon penerima PKH. Jika ini terjadi, BPS tetap saja tidak akan sepenuhnya mampu memverifikasi satu per satu rumah tangga yang kemungkinan isian karakteristiknya telah dimanipulir di lapangan.
Kedua, katakanlah proses pendataan yang dilakukan oleh BPS berlangsung dengan sangat baik bahkan menghasilkan zero error. Hal ini pun belum menjamin bahwa program PKH ini akan sukses. Performanya akan tergantung kepada peran para pendamping program di lapangan. Dapatkah, dan dengan semangat kemanusiaan yang tulus untuk membantu masyarakat yang sangat miskin, mereka melakukan pendampingan terhadap satu per satu rumah tangga miskin penerima bantuan untuk memberi motivasi, memanusiakan dan menjamin apakah bantuan yang diberikan betul-betul dimanfaatkan sesuai dengan tujuannya. Pengalaman kita selama ini menunjukkan bahwa pada tataran konsep normatif kita cukup kuat, tetapi dalam hal implementasi di lapangan kita lemah terutama dalam hal monitoring, mengantisipasi dan mencarikan solusi dari masalah. Begitu juga dengan kekuatan tekad untuk memastikan bahwa suatu program telah dapat dijalankan dengan efektif, biasanya terabaikan.
Ketiga, sukses PKH akan sangat tergantung kepada komitmen yang implementatif dari pemerintah daerah terutama para Bupati dan Walikota di mana program itu dilaksanakan. Idealnya para Bupati dan Walikota bekerjasama dengan berbagai komponen masyarakat sipil yang ada di daerahnya untuk memastikan bahwa setiap dana yang diterima oleh rumah tangga miskin betul-betul digunakan untuk pendidikan dan pemeliharaan kesehatan ibu hamil dan anak-anak balita.
Komitmen yang implementatif hanya mungkin dapat terlaksana jika para pemimpin daerah juga memiliki atau setidaknya mulai membangun sense of cohesivity dan sense of efficacy (perasaan menyatu dan memberi penghargaan) terhadap lapisan masyarakat yang paling miskin. Perlu dibangun suatu mentalitas bersama yang lahir dari komitmen kuat nihile spectre homini admirabilius (adagium terkenal tentang pentingnya penghormatan terhadap manusia, disitir dari perkataan intelektual Islam Ibnu Qutoibah, yang bergema dan mengilhami rainisan Eropah 400 tahun yang lalu).
Jika kendala-kendala ini dapat diminimalkan dan yang positif dapat dimaksimalkan dengan komitmen dan kesungguhan semua pihak, niscaya upaya memutus rantai kemiskinan lintas generasi dapat menuai sukses. Program ini diyakini akan menjadi the audacity of hope bagi keluarga yang sangat miskin. Jika tidak, hasilnyapun niscaya akan sebaliknya dan kita kembali ke laptop lama.
Artikel ini dimuat di Harian Republika. 23 Juli 2007
Kamis, 19 Juli 2007
Riwayat Hidup Jousairi Hasbullah
Jousairi Hasbullah berasal-usul dari daerah Komering, Sumatera Selatan. Lahir 15 Mai 1958. Memiliki satu isteri, Rusdiana, dan empat orang anak yaitu Bunga Hania (21), Miskiyata Harum Sabrina (20), Ridwan Alfarisi (16), dan Aliftsa Ibrahim (10).
Setelah bekerja selama dua tahun di Jakarta, kemudian pada tahun 1983 bertugas dan menetap di Palembang sampai tahun 1997. Telah menulis banyak karya. Selama masih menetap di Palembang, penulis telah menulis lebih dari seratus artikel di Harian Sriwijaya Post. Dapat dipahami, jika pada tahun 1992 dan pada tahun 1993 penulis terpilih melalui pooling pembaca harian tersebut sebagai salah satu pria paling populer di Sumatera Selatan.
Sejak tahun 1997 penulis menetap di Bandung Jawa Barat. Banyak menulis di berbagai harian seperti Harian Kompas, Harian Seputar Indonesia, Suara Pembaharuan, Harian Umum Republika dan beberapa majalah, jurnal ilmiah dan surat kabar lainnya. Banyak pula makalah yang telah ditulis untuk berbagai seminar dan diskusi. Penulis juga telah menerbitkan beberapa buku antara lain buku yang berjudul “Mamang dan Belanda” (1996) yang diterbitkan oleh penerbit Universitas Sriwijaya, “Analisis Gender” (2001) oleh BPS-UNFPA dan beberapa yang lain.
Pendidikan terakhir adalah lulusan Pasca Sarjana jurusan Population and Human Resources dari The Flinders University of South Australia. Banyak jenis kursus dan pertemuan ilmiah yang telah diikuti baik di Luar Negeri maupun di Dalam Negeri. Pada tahun 1996 misalnya, mengikuti Workshop dan Training Migration and its Impacts, di Bangkok Thailand, dan berbagai training tentang kemiskinan dan Sumber Daya Manusia. Pada tahun 2005, tepatnya di bulan May 2005, penulis mengikuti pertemuan dan diskusi intensif tentang Modal Sosial di Australia. Bandung-Jakarta
15 Mai 2006.
Setelah bekerja selama dua tahun di Jakarta, kemudian pada tahun 1983 bertugas dan menetap di Palembang sampai tahun 1997. Telah menulis banyak karya. Selama masih menetap di Palembang, penulis telah menulis lebih dari seratus artikel di Harian Sriwijaya Post. Dapat dipahami, jika pada tahun 1992 dan pada tahun 1993 penulis terpilih melalui pooling pembaca harian tersebut sebagai salah satu pria paling populer di Sumatera Selatan.
Sejak tahun 1997 penulis menetap di Bandung Jawa Barat. Banyak menulis di berbagai harian seperti Harian Kompas, Harian Seputar Indonesia, Suara Pembaharuan, Harian Umum Republika dan beberapa majalah, jurnal ilmiah dan surat kabar lainnya. Banyak pula makalah yang telah ditulis untuk berbagai seminar dan diskusi. Penulis juga telah menerbitkan beberapa buku antara lain buku yang berjudul “Mamang dan Belanda” (1996) yang diterbitkan oleh penerbit Universitas Sriwijaya, “Analisis Gender” (2001) oleh BPS-UNFPA dan beberapa yang lain.
Pendidikan terakhir adalah lulusan Pasca Sarjana jurusan Population and Human Resources dari The Flinders University of South Australia. Banyak jenis kursus dan pertemuan ilmiah yang telah diikuti baik di Luar Negeri maupun di Dalam Negeri. Pada tahun 1996 misalnya, mengikuti Workshop dan Training Migration and its Impacts, di Bangkok Thailand, dan berbagai training tentang kemiskinan dan Sumber Daya Manusia. Pada tahun 2005, tepatnya di bulan May 2005, penulis mengikuti pertemuan dan diskusi intensif tentang Modal Sosial di Australia. Bandung-Jakarta
15 Mai 2006.
Buku Social Capital: Layak Dibaca
Buku:“Social Capital: Menuju Keunggulan Budaya Manusia Indonesia” 2006. Penulis: Jousairi Hasbullah
SOCIAL CAPITAL : Menuju Keunggulan Budaya Manusia Indonesia, yang ditulis oleh Jousairi Hasbullah menguraikan pentingnya faktor Modal Sosial (Social Capital) dalam menentukan keberhasilan pembangunan, khususnya pembangunan manusia untuk menuju budaya unggul yang maju dan sejahtera.
Modal Sosial merupakan energi pembangunan yang sangat dahsyat. Pengertian sederhana Modal Sosial yaitu “Sumberdaya Kelompok berupa upaya bersama di setiap kelompok masyarakat yang ditopang oleh nilai-nilai/norma yang membawa perubahan, kohesifitas sosial, trust, resiprositas, partisipasi, eksternalitas dan digerakkan melalui variasi jaringan”
Masing-masing entitas sosial memiliki tidak saja tipologi, melainkan juga konfigurasi nilai dan norma yang sangat menentukan derajat kerekatan sosial dan kolaborasi sosial dalam masyarakat. Dimensi ini akan berpengaruh kuat pada karakteristik prilaku masyarakat dan respon yang mereka tunjukkan terhadap setiap kebijakan pembangunan yang dibuat oleh pemerintah.
Beragam rencana dan agenda pembangunan yang dirancang akan senantiasa berhadapan dengan faktor-faktor ini yang dapat memperlancar atau bahkan menggerogoti pembangunan itu sendiri. Disinilah peran Modal Sosial yang sangat menentukan, dan selama ini mengalami kehancuran. Hingga saat ini terkesan belum ada upaya revitalisasi untuk didayagunakan. Bukan pemerintah semata, tetapi organisasi-organisasi masyarakat sipillah yang seyogyanya mengembangkan modal sosial dimaksud.
Masyarakat yang memiliki modal sosial yang kuat, akan menjadi masyarakat yang cepat maju dan berkembang. Sebaliknya, masyarakat yang memiliki modal sosial yang lemah akan menjadi masyarakat yang tercerai-berai, saling membiarkan, menggerogoti pembangunan, dan mudah menjadi anarkis. Dalam buku ini contoh modal sosial yang kuat dirujuk pada masyarakat Bologna dan Florence di Italia, Jepang di Asia dan beberapa yang lain.
Buku ini mengulas secara komprehensif mengenai dimensi Modal Sosial, mulai dari filosofi, konsep, teori-teori, frame work, sampai ulasan yang rinci keterkaitan Modal Sosial dengan pembangunan disertai contoh-contoh lokal keIndonesiaan. Penulis secara terbuka mengeksplorasi peran Penganut Agama, LSM, Organisasi Kemasyarakatan, Pemerintah, Lembaga Legislatif, Gerakan Mahasiswa, dan berbagai Kelompok Kemasyarakatan yang diduga telah berkontribusi pada kehancuran nilai-nilai kemanusiaan, trust, semangat resiprositas, dan eksternalitas positif yang dalam bahasa lain disebut sebagai melemahnya Modal Sosial. Situasi ini, jika tidak mendapat perhatian maksimal, menyebabkan Indonesia akan kesulitan bangkit dan semakin tertinggal dari bangsa-bangsa/negeri tetangga. Tidak itu saja Bangsa dengan Modal Sosial rendah akan sangat sulit mengatasi berbagai bencana yang menimpa mereka. Karena Modal Sosial yang rendah tidak mengherankan jika Indonesia selalu menempati ranking atas dalam bencana, musibah, penyakit dan semua unsur negatif lainnya.
Buku ini juga mengkaji kemungkinan kebijakan dan langkah-langkah yang dapat dilakukan dalam rangka menghidupkan Modal Sosial masyarakat Indonesia yang telah hancur dan membangun Budaya Unggul Manusia Indonesia. Bukan pemerintah saja yang harus bertanggungjawab atas upaya revitalisasi Modal Sosial, tetapi justru seharusnya pada tataran masyarakat sipil terutama kelompok-kelompok kemasyarakatan: organisasi keagamaan, LSM, lembaga pendidikan, kelompok pengajian, kelompok pemuda dll.
Dengan membaca buku ini diharapkan ada semacam pencerahan baru, yang merupakan jawaban atas kebuntuan ilmu ekonomi dalam menjelaskan kelambanan dan kompleksitas permasalahan pembangunan di Indonesia. Telaah yang komprehensif dan jawaban dari beragam persoalan bangsa yang sulit dipecahkan, menjadi Kekayaan Utama dari buku ini.
Penulis, Jousairi Hasbullah. Rumah: Jln Guntur Sari III No 24 Buah Batu. Bandung. (022) 7309905. Mobile Phone : 0852 2026 1958.
SOCIAL CAPITAL : Menuju Keunggulan Budaya Manusia Indonesia, yang ditulis oleh Jousairi Hasbullah menguraikan pentingnya faktor Modal Sosial (Social Capital) dalam menentukan keberhasilan pembangunan, khususnya pembangunan manusia untuk menuju budaya unggul yang maju dan sejahtera.
Modal Sosial merupakan energi pembangunan yang sangat dahsyat. Pengertian sederhana Modal Sosial yaitu “Sumberdaya Kelompok berupa upaya bersama di setiap kelompok masyarakat yang ditopang oleh nilai-nilai/norma yang membawa perubahan, kohesifitas sosial, trust, resiprositas, partisipasi, eksternalitas dan digerakkan melalui variasi jaringan”
Masing-masing entitas sosial memiliki tidak saja tipologi, melainkan juga konfigurasi nilai dan norma yang sangat menentukan derajat kerekatan sosial dan kolaborasi sosial dalam masyarakat. Dimensi ini akan berpengaruh kuat pada karakteristik prilaku masyarakat dan respon yang mereka tunjukkan terhadap setiap kebijakan pembangunan yang dibuat oleh pemerintah.
Beragam rencana dan agenda pembangunan yang dirancang akan senantiasa berhadapan dengan faktor-faktor ini yang dapat memperlancar atau bahkan menggerogoti pembangunan itu sendiri. Disinilah peran Modal Sosial yang sangat menentukan, dan selama ini mengalami kehancuran. Hingga saat ini terkesan belum ada upaya revitalisasi untuk didayagunakan. Bukan pemerintah semata, tetapi organisasi-organisasi masyarakat sipillah yang seyogyanya mengembangkan modal sosial dimaksud.
Masyarakat yang memiliki modal sosial yang kuat, akan menjadi masyarakat yang cepat maju dan berkembang. Sebaliknya, masyarakat yang memiliki modal sosial yang lemah akan menjadi masyarakat yang tercerai-berai, saling membiarkan, menggerogoti pembangunan, dan mudah menjadi anarkis. Dalam buku ini contoh modal sosial yang kuat dirujuk pada masyarakat Bologna dan Florence di Italia, Jepang di Asia dan beberapa yang lain.
Buku ini mengulas secara komprehensif mengenai dimensi Modal Sosial, mulai dari filosofi, konsep, teori-teori, frame work, sampai ulasan yang rinci keterkaitan Modal Sosial dengan pembangunan disertai contoh-contoh lokal keIndonesiaan. Penulis secara terbuka mengeksplorasi peran Penganut Agama, LSM, Organisasi Kemasyarakatan, Pemerintah, Lembaga Legislatif, Gerakan Mahasiswa, dan berbagai Kelompok Kemasyarakatan yang diduga telah berkontribusi pada kehancuran nilai-nilai kemanusiaan, trust, semangat resiprositas, dan eksternalitas positif yang dalam bahasa lain disebut sebagai melemahnya Modal Sosial. Situasi ini, jika tidak mendapat perhatian maksimal, menyebabkan Indonesia akan kesulitan bangkit dan semakin tertinggal dari bangsa-bangsa/negeri tetangga. Tidak itu saja Bangsa dengan Modal Sosial rendah akan sangat sulit mengatasi berbagai bencana yang menimpa mereka. Karena Modal Sosial yang rendah tidak mengherankan jika Indonesia selalu menempati ranking atas dalam bencana, musibah, penyakit dan semua unsur negatif lainnya.
Buku ini juga mengkaji kemungkinan kebijakan dan langkah-langkah yang dapat dilakukan dalam rangka menghidupkan Modal Sosial masyarakat Indonesia yang telah hancur dan membangun Budaya Unggul Manusia Indonesia. Bukan pemerintah saja yang harus bertanggungjawab atas upaya revitalisasi Modal Sosial, tetapi justru seharusnya pada tataran masyarakat sipil terutama kelompok-kelompok kemasyarakatan: organisasi keagamaan, LSM, lembaga pendidikan, kelompok pengajian, kelompok pemuda dll.
Dengan membaca buku ini diharapkan ada semacam pencerahan baru, yang merupakan jawaban atas kebuntuan ilmu ekonomi dalam menjelaskan kelambanan dan kompleksitas permasalahan pembangunan di Indonesia. Telaah yang komprehensif dan jawaban dari beragam persoalan bangsa yang sulit dipecahkan, menjadi Kekayaan Utama dari buku ini.
Penulis, Jousairi Hasbullah. Rumah: Jln Guntur Sari III No 24 Buah Batu. Bandung. (022) 7309905. Mobile Phone : 0852 2026 1958.
Artikel
BONDING SOCIAL CAPITAL DAN PEMIMPIN INDONESIA
Oleh: Jousairi Hasbullah
Bonding Social Capital dan Pemimpin IndonesiaJousairi Hasbullah *)Suatu siang di penghujung bulan November 2006 di Executive Lounge Graha Niaga Lantai 27 saya dan Robby makan siang berdua. Di sela itu, kami berdiskusi tentang beberapa permasalahan bangsa khususnya yang berkaitan dengan modal sosial dan pembangunan yang selama ini terasa kurang mendapat sentuhan. Salah satu hal menarik yang dikemukakan Robby adalah bagaimana dia melihat modal sosial bangsa yang kian hancur. Sementara itu, para pemimpin, di semua lini, sepertinya belum memberi perhatian yang berarti. “Menerbitkan buku yang berisi pemikiran tentang modal sosial barangkali akan menjadi sumbangan berarti dari saya untuk bangsa” kata Robby.Dalam beberapa hal, terutama mengenai kaitan antara pemimpin dengan modal sosial, kami agak berbeda pendapat. Latar belakang Robby yang kaya dengan pengalaman memimpin Bank Niaga, memimpin Garuda dan membangun Bank Mandiri, membawanya ke suatu kesimpulan bahwa modal sosial itu dapat terbangun, di bidang apapun, tergantung pada peran pemimpinnya. Saya justru berpikir sebaliknya, tipologi, watak, dan karakteristik kepemimpinan seorang pemimpin akan ditentukan oleh budaya dan spektrum modal sosial yang berkembang di masyarakat di mana pemimpin itu dilahirkan dan dibesarkan. Dalam perjalanan diskusi yang intens dan panjang akhirnya kami memiliki pandangan yang sama bahwa ada resiprokalistik menyangkut hubungan antara kedua dimensi tersebut.Saya meyakini bahwa salah satu problema besar bangsa terletak pada para pemimpinnya. Apakah itu pemimpin di pemerintahan, legislatif, yudikatif, dunia usaha maupun LSM dan di lembaga kemasyarakatan lainnya. Pemimpin yang terlahir umumnya berasal dari suatu pola budaya komunitas dengan modal sosial yang terikat ke dalam demikian kuatnya (bonding social capital) Inilah yang kini tengah mewarnai tipologi modal sosial di Indonesia. Modal sosial komunitas yang disebut bonding adalah suatu bentuk pola hubungan sosial yang selalu berorientasi kepada nilai dan pandangan hidup ke dalam komunitas dan memandang budaya di luar komunitas sebagai asing bahkan sebagai sesuatu yang “kurang”. Apa yang terbaik adalah apa yang turun temurun telah menjadi nilai dan norma keturunan, komunitas atau sukunya. Pandangan tentang kemaslahatan, prestasi, pengabdian, hubungan-hubungan sosial dan orientasi jaringan terikat dan diikat dengan kuat untuk senantiasa melihat dan berorientasi ke dalam komunitas. Persinggungan dengan budaya luar jika pun terjadi, sifatnya cenderung formalistik dengan jarak emosional yang renggang. Dari situasi seperti yang disebutkan, Indonesia melahirkan para pemimpinnya. Seseorang itu dapat menjadi pemimpin tetapi, pikiran, tangan dan kaki mereka seperti terbelenggu oleh rantai budaya bonding komunitas yang selama ini membesarkan mereka. Pada spektrum ini, korupsi dan perbuatan menyimpang lainnya akan sah-sah saja dilakukan selama masyarakat bonding komunitas/kelompok/suku asalnya tidak mempersoalkan (bahkan menerima). Inilah juga faktor utama mengapa para pemimpin Indonesia, di semua jenis dan lini, kurang memiliki sensitifitas untuk memerangi korupsi, penyimpangan dan dengan mentalitas yang hanya berorientasi pada diri sendiri. Dinamika bonding social capital akan memunculkan para pemimpin yang memiliki semangat kemanusiaan lintas suku, agama, kelompok, keturunan dan sejenisnya yang sangat tipis. Sehingga dorongan kuat untuk berbuat yang terbaik mencapai tujuan bersama, dan untuk semua manusia, hampir tidak muncul. Dimensi ini yang dapat menerangkan mengapa sulit sekali seorang pemimpin dapat menghasilkan prestasi pencapaian yang tinggi.Semangat bonding juga akan melahirkan para pemimpin yang cepat puas dan menghindari kompetisi kelas dunia. Seorang pemimpin yang telah dapat dipandang oleh komunitasnya bahwa yang bersangkutan berhasil dalam ukuran nilai-nilai lokal, telah akan merasa cukup puas. Indonesia didominasi oleh semangat ini. Sangat jarang seorang pemimpin di Indonesia mencita-citakan untuk menjadi pemimpin dengan kaliber internasional: menjadi Sekjen PBB atau menjadi pemimpin lembaga internasional.Kita dapat melihat contoh kecil saja, di bidang olah raga khususnya sepak bola. Indonesia adalah negeri dengan pemain bola di antara yang terbanyak di dunia, dengan dana besar dan pelatih kaliber internasional yang silih berganti, tetapi tidak mampu memunculkan prestasi dunia. Penyebab utamanya, tidak ada pemimpin bola dan pemain yang sama-sama membangun mentalitas bridging dan linking (menjembatani dan terkait) ke luar dengan tekad kuat bahwa pemain saya atau dari sisi pemain, saya harus menjadi pemain terbaiknya Manchester United di sekian tahun ke depan. Ini terjadi karena dilatari oleh semangat bonding social capital yang begitu kental. Saya cukup menjadi pemain lokal, tokh kebanggaan saya di tengah komunitas lokal telah dapat diraih. Tipologi semangat ini merasuki hampir semua dimensi kehidupan termasuk dalam diri para pemimpin Indonesia.Modal sosial yang bonding (terikat ke dalam) dengan eksternalitas negatif yang tumbuh di masyarakat akan sulit melahirkan pemimpin baru yang memiliki keunggulan budaya, berorientasi nasional dan internasional, tanpa harus mengabaikan kepentingan lokal.. Di Indonesia, para pemimpin yang muncul umumnya hanya dapat dipandang layak untuk memimpin suku, sekte, dan atau kelompok bonding sejenis., tetapi jauh dari memadai untuk memimpin bangsa. Ini tidak terlepas dari kesulitan sang calon pemimpin untuk menyesuaikan dengan tuntutan negara bangsa yang pluralis. Bahwasanya pemimpin baru yang muncul harus lahir dari suatu lingkungan budaya yang memiliki kekuatan silang budaya (cross cultural) dengan visi kemanusiaan yang memberikan sense of efficacy (memberikan perasaan berharga) bagi semua lapisan manusia terlepas dari ikatan bonding ras, suku, agama maupun golongan. Dalam bahasa lain, memiliki modal sosial yang positif kuat. Inilah yang langka dan sekaligus kesulitan yang kita hadapi. Bukankah kita telah berulangkali menyaksikan bahwa untuk sekadar memilih Menteri, dari 100 juta lebih penduduk dewasa Indonesia, cenderung dari itu ke itu saja. Seseorang yang pernah direshuffle pun bisa terangkat kembali pada masa yang berbeda, karena kita, dan harus kita akui, tidak memiliki koleksi pemimpin unggul yang lahir dari komunitas dengan modal sosial yang berenergi dan dengan rentang kepercayaan (radius of trust) yang lebar.Sangat sulit bagi kita untuk dapat membangun negeri ini dengan sukses tanpa adanya kesadaran dan kekuatan kemampuan pemimpin Indonesia untuk mentransformasikan masyarakat yang bonding ini ke arah yang lebih bridging dan linking social capital. Inilah kontribusi yang, saya kira, sangat besar dari bukunya Robby Djohan, Leaders and Social Capital. Ini tidak hanya merefleksikan kekayaan ide dari Robby tetapi lebih jauh merupakan sumbangsih yang sangat berharga bagi siapapun warga bangsa yang kelak akan menjadi pemimpin di semua jenis dan tingkatan kepemimpinan.*) Penulis adalah cendikiawan, penulis buku “Social Capital: Menuju Keunggulan Budaya Manusia Indonesia”
Oleh: Jousairi Hasbullah
Bonding Social Capital dan Pemimpin IndonesiaJousairi Hasbullah *)Suatu siang di penghujung bulan November 2006 di Executive Lounge Graha Niaga Lantai 27 saya dan Robby makan siang berdua. Di sela itu, kami berdiskusi tentang beberapa permasalahan bangsa khususnya yang berkaitan dengan modal sosial dan pembangunan yang selama ini terasa kurang mendapat sentuhan. Salah satu hal menarik yang dikemukakan Robby adalah bagaimana dia melihat modal sosial bangsa yang kian hancur. Sementara itu, para pemimpin, di semua lini, sepertinya belum memberi perhatian yang berarti. “Menerbitkan buku yang berisi pemikiran tentang modal sosial barangkali akan menjadi sumbangan berarti dari saya untuk bangsa” kata Robby.Dalam beberapa hal, terutama mengenai kaitan antara pemimpin dengan modal sosial, kami agak berbeda pendapat. Latar belakang Robby yang kaya dengan pengalaman memimpin Bank Niaga, memimpin Garuda dan membangun Bank Mandiri, membawanya ke suatu kesimpulan bahwa modal sosial itu dapat terbangun, di bidang apapun, tergantung pada peran pemimpinnya. Saya justru berpikir sebaliknya, tipologi, watak, dan karakteristik kepemimpinan seorang pemimpin akan ditentukan oleh budaya dan spektrum modal sosial yang berkembang di masyarakat di mana pemimpin itu dilahirkan dan dibesarkan. Dalam perjalanan diskusi yang intens dan panjang akhirnya kami memiliki pandangan yang sama bahwa ada resiprokalistik menyangkut hubungan antara kedua dimensi tersebut.Saya meyakini bahwa salah satu problema besar bangsa terletak pada para pemimpinnya. Apakah itu pemimpin di pemerintahan, legislatif, yudikatif, dunia usaha maupun LSM dan di lembaga kemasyarakatan lainnya. Pemimpin yang terlahir umumnya berasal dari suatu pola budaya komunitas dengan modal sosial yang terikat ke dalam demikian kuatnya (bonding social capital) Inilah yang kini tengah mewarnai tipologi modal sosial di Indonesia. Modal sosial komunitas yang disebut bonding adalah suatu bentuk pola hubungan sosial yang selalu berorientasi kepada nilai dan pandangan hidup ke dalam komunitas dan memandang budaya di luar komunitas sebagai asing bahkan sebagai sesuatu yang “kurang”. Apa yang terbaik adalah apa yang turun temurun telah menjadi nilai dan norma keturunan, komunitas atau sukunya. Pandangan tentang kemaslahatan, prestasi, pengabdian, hubungan-hubungan sosial dan orientasi jaringan terikat dan diikat dengan kuat untuk senantiasa melihat dan berorientasi ke dalam komunitas. Persinggungan dengan budaya luar jika pun terjadi, sifatnya cenderung formalistik dengan jarak emosional yang renggang. Dari situasi seperti yang disebutkan, Indonesia melahirkan para pemimpinnya. Seseorang itu dapat menjadi pemimpin tetapi, pikiran, tangan dan kaki mereka seperti terbelenggu oleh rantai budaya bonding komunitas yang selama ini membesarkan mereka. Pada spektrum ini, korupsi dan perbuatan menyimpang lainnya akan sah-sah saja dilakukan selama masyarakat bonding komunitas/kelompok/suku asalnya tidak mempersoalkan (bahkan menerima). Inilah juga faktor utama mengapa para pemimpin Indonesia, di semua jenis dan lini, kurang memiliki sensitifitas untuk memerangi korupsi, penyimpangan dan dengan mentalitas yang hanya berorientasi pada diri sendiri. Dinamika bonding social capital akan memunculkan para pemimpin yang memiliki semangat kemanusiaan lintas suku, agama, kelompok, keturunan dan sejenisnya yang sangat tipis. Sehingga dorongan kuat untuk berbuat yang terbaik mencapai tujuan bersama, dan untuk semua manusia, hampir tidak muncul. Dimensi ini yang dapat menerangkan mengapa sulit sekali seorang pemimpin dapat menghasilkan prestasi pencapaian yang tinggi.Semangat bonding juga akan melahirkan para pemimpin yang cepat puas dan menghindari kompetisi kelas dunia. Seorang pemimpin yang telah dapat dipandang oleh komunitasnya bahwa yang bersangkutan berhasil dalam ukuran nilai-nilai lokal, telah akan merasa cukup puas. Indonesia didominasi oleh semangat ini. Sangat jarang seorang pemimpin di Indonesia mencita-citakan untuk menjadi pemimpin dengan kaliber internasional: menjadi Sekjen PBB atau menjadi pemimpin lembaga internasional.Kita dapat melihat contoh kecil saja, di bidang olah raga khususnya sepak bola. Indonesia adalah negeri dengan pemain bola di antara yang terbanyak di dunia, dengan dana besar dan pelatih kaliber internasional yang silih berganti, tetapi tidak mampu memunculkan prestasi dunia. Penyebab utamanya, tidak ada pemimpin bola dan pemain yang sama-sama membangun mentalitas bridging dan linking (menjembatani dan terkait) ke luar dengan tekad kuat bahwa pemain saya atau dari sisi pemain, saya harus menjadi pemain terbaiknya Manchester United di sekian tahun ke depan. Ini terjadi karena dilatari oleh semangat bonding social capital yang begitu kental. Saya cukup menjadi pemain lokal, tokh kebanggaan saya di tengah komunitas lokal telah dapat diraih. Tipologi semangat ini merasuki hampir semua dimensi kehidupan termasuk dalam diri para pemimpin Indonesia.Modal sosial yang bonding (terikat ke dalam) dengan eksternalitas negatif yang tumbuh di masyarakat akan sulit melahirkan pemimpin baru yang memiliki keunggulan budaya, berorientasi nasional dan internasional, tanpa harus mengabaikan kepentingan lokal.. Di Indonesia, para pemimpin yang muncul umumnya hanya dapat dipandang layak untuk memimpin suku, sekte, dan atau kelompok bonding sejenis., tetapi jauh dari memadai untuk memimpin bangsa. Ini tidak terlepas dari kesulitan sang calon pemimpin untuk menyesuaikan dengan tuntutan negara bangsa yang pluralis. Bahwasanya pemimpin baru yang muncul harus lahir dari suatu lingkungan budaya yang memiliki kekuatan silang budaya (cross cultural) dengan visi kemanusiaan yang memberikan sense of efficacy (memberikan perasaan berharga) bagi semua lapisan manusia terlepas dari ikatan bonding ras, suku, agama maupun golongan. Dalam bahasa lain, memiliki modal sosial yang positif kuat. Inilah yang langka dan sekaligus kesulitan yang kita hadapi. Bukankah kita telah berulangkali menyaksikan bahwa untuk sekadar memilih Menteri, dari 100 juta lebih penduduk dewasa Indonesia, cenderung dari itu ke itu saja. Seseorang yang pernah direshuffle pun bisa terangkat kembali pada masa yang berbeda, karena kita, dan harus kita akui, tidak memiliki koleksi pemimpin unggul yang lahir dari komunitas dengan modal sosial yang berenergi dan dengan rentang kepercayaan (radius of trust) yang lebar.Sangat sulit bagi kita untuk dapat membangun negeri ini dengan sukses tanpa adanya kesadaran dan kekuatan kemampuan pemimpin Indonesia untuk mentransformasikan masyarakat yang bonding ini ke arah yang lebih bridging dan linking social capital. Inilah kontribusi yang, saya kira, sangat besar dari bukunya Robby Djohan, Leaders and Social Capital. Ini tidak hanya merefleksikan kekayaan ide dari Robby tetapi lebih jauh merupakan sumbangsih yang sangat berharga bagi siapapun warga bangsa yang kelak akan menjadi pemimpin di semua jenis dan tingkatan kepemimpinan.*) Penulis adalah cendikiawan, penulis buku “Social Capital: Menuju Keunggulan Budaya Manusia Indonesia”
artikel
Thymos
Oleh: Jousairi Hasbullah
Adalah suatu yang mustahil dapat membangun suatu bangsa dengan baik, benar dan kuat tanpa kita mampu menciptakan keseimbangan antara tiga bagian dari kebutuhan jiwa manusia yang oleh Plato disebut sebagai desire (keinginan untuk mencari sesuatu di luar diri mereka), reason (rasionalitas yang menunjukkan jalan terbaik untuk mencapai keinginan) dan thymos (bagian dari jiwa manusia yang membutuhkan pengakuan dan penghargaan) serta emos (innate human sense of justice).
Tanpa desire manusia tidak mungkin memiliki ide dan cara untuk mencapai keinginan-keinginannya seperti pemenuhan kebutuhan fisik berupa makanan dan non-makanan maupun kebutuhan non fisik seperti kesehatan, pendidikan, dan jenis pekerjaan yang layak. Desire ini pula sebagai titik tolak lahirnya reason yang memberikan jalan bagi manusia untuk berpikir, belajar, menemukan strategi pemecahan masalah, mengejar keuntungan-keuntungan materi, kompetisi, dan pencapaian dalam kehidupannya.
Tetapi, dengan melandaskan kehidupan hanya dalam batas-batas desire dan reason, manusia akan hidup tanpa kendali. Keserakahan, anarkisme, absolutisme, dan mentalitas yang kuat akan memakan yang lemah akan mendominasi kehidupan masyarakat dan bangsa jika tidak diimbangi oleh bekerjanya semangat untuk mengakui tentang thymos dan emos bagi manusia yang lain.
Thymos adalah suatu spirit dalam jiwa manusia yang senantiasa mencari pengakuan (recognition) dari orang lain akan keberhargaannya sebagai manusia, atau kebanggaan akan kepemilikannya atas benda-benda, prinsip hidup dan pencapaiannya. Dalam bahasa lain yang cukup popular dewasa ini thymos disamakan dengan apa yang disebut sebagai self-esteem. Kecenderungan untuk merasakan self-esteem ini datang dari bagian lain dari jiwa manusia yang disebut sebagai emos. Perasaan memiliki dan mendapat pengakuan ini jika ternyata dalam realitas justru tidak didapat akan muncul perasaan marah. Sebaliknya, jika pengakuan itu dirasakan sesuai dengan yang seharusnya, maka akan muncul kebanggaan.
Thymos inilah yang menurut Hegel, dalam sejarah peradaban manusia, yang telah menggerakkan manusia kepada berbagai pertempuran, kematian dan pengorbanan demi thymos yaitu perasaan untuk dibanggakan oleh orang lain. Thymos inilah yang telah menciptakan stratifikasi manusia dalam kehidupan kemasyarakatan yang feudal yang memunculkan segregasi antara para bangsawan dan para budaknya (the masters and the slaves). Tetapi relasi yang terbangun antara para bangsawan dan budaknya juga gagal melahirkan dan memenuhi the desire for recognition baik bagi tuannya apalagi bagi budaknya. Bagi budak, jangankan mampu memenuhinya, kehidupan yang seharusnya sebagai manusia pun belum cukup memenuhi syarat.
Para tuan juga tidak pernah merasa terpuaskan, karena tidak mendapatkan pengakuan dari para tuan yang lain. Dalam proses evolusi kehidupan bermasyarakat yang menuju ke arah yang demokratis, ketidakseimbangan pengakuan lambat laun tergantikan dengan kemunculan reciprocal recognition di mana setiap anggota masyarakat mengakui harga diri dan kemanusiaan dari setiap manusia yang lain. Dalam konteks negara, dignity ini diakui melalui penjaminan hak-hak masyarakat.
Kombinasi antara desire dan reason ini yang dapat menerangkan tentang pembangunan industrialisasi atau dalam kehidupan ekonomi, tetapi ini hanya secara parsial menerangkan tentang pemenuhan thymos yang dibutuhkan oleh masyarakat. Bagian dari kebijakan yang dapat menerangkan salah satu dimensi pemenuhan thymos adalah melalui pemenuhan akan kebutuhan pendidikan massal yang sangat diperlukan oleh lapisan masyarakat miskin. Pemenuhan thymos ini juga dapat diperoleh melalui kebanggaan akan pekerjaan, dan lain-lain.
Jousairi Hasbullah
Seameo Biotrop, Tajur Bogor 22 Mei 2007
Oleh: Jousairi Hasbullah
Adalah suatu yang mustahil dapat membangun suatu bangsa dengan baik, benar dan kuat tanpa kita mampu menciptakan keseimbangan antara tiga bagian dari kebutuhan jiwa manusia yang oleh Plato disebut sebagai desire (keinginan untuk mencari sesuatu di luar diri mereka), reason (rasionalitas yang menunjukkan jalan terbaik untuk mencapai keinginan) dan thymos (bagian dari jiwa manusia yang membutuhkan pengakuan dan penghargaan) serta emos (innate human sense of justice).
Tanpa desire manusia tidak mungkin memiliki ide dan cara untuk mencapai keinginan-keinginannya seperti pemenuhan kebutuhan fisik berupa makanan dan non-makanan maupun kebutuhan non fisik seperti kesehatan, pendidikan, dan jenis pekerjaan yang layak. Desire ini pula sebagai titik tolak lahirnya reason yang memberikan jalan bagi manusia untuk berpikir, belajar, menemukan strategi pemecahan masalah, mengejar keuntungan-keuntungan materi, kompetisi, dan pencapaian dalam kehidupannya.
Tetapi, dengan melandaskan kehidupan hanya dalam batas-batas desire dan reason, manusia akan hidup tanpa kendali. Keserakahan, anarkisme, absolutisme, dan mentalitas yang kuat akan memakan yang lemah akan mendominasi kehidupan masyarakat dan bangsa jika tidak diimbangi oleh bekerjanya semangat untuk mengakui tentang thymos dan emos bagi manusia yang lain.
Thymos adalah suatu spirit dalam jiwa manusia yang senantiasa mencari pengakuan (recognition) dari orang lain akan keberhargaannya sebagai manusia, atau kebanggaan akan kepemilikannya atas benda-benda, prinsip hidup dan pencapaiannya. Dalam bahasa lain yang cukup popular dewasa ini thymos disamakan dengan apa yang disebut sebagai self-esteem. Kecenderungan untuk merasakan self-esteem ini datang dari bagian lain dari jiwa manusia yang disebut sebagai emos. Perasaan memiliki dan mendapat pengakuan ini jika ternyata dalam realitas justru tidak didapat akan muncul perasaan marah. Sebaliknya, jika pengakuan itu dirasakan sesuai dengan yang seharusnya, maka akan muncul kebanggaan.
Thymos inilah yang menurut Hegel, dalam sejarah peradaban manusia, yang telah menggerakkan manusia kepada berbagai pertempuran, kematian dan pengorbanan demi thymos yaitu perasaan untuk dibanggakan oleh orang lain. Thymos inilah yang telah menciptakan stratifikasi manusia dalam kehidupan kemasyarakatan yang feudal yang memunculkan segregasi antara para bangsawan dan para budaknya (the masters and the slaves). Tetapi relasi yang terbangun antara para bangsawan dan budaknya juga gagal melahirkan dan memenuhi the desire for recognition baik bagi tuannya apalagi bagi budaknya. Bagi budak, jangankan mampu memenuhinya, kehidupan yang seharusnya sebagai manusia pun belum cukup memenuhi syarat.
Para tuan juga tidak pernah merasa terpuaskan, karena tidak mendapatkan pengakuan dari para tuan yang lain. Dalam proses evolusi kehidupan bermasyarakat yang menuju ke arah yang demokratis, ketidakseimbangan pengakuan lambat laun tergantikan dengan kemunculan reciprocal recognition di mana setiap anggota masyarakat mengakui harga diri dan kemanusiaan dari setiap manusia yang lain. Dalam konteks negara, dignity ini diakui melalui penjaminan hak-hak masyarakat.
Kombinasi antara desire dan reason ini yang dapat menerangkan tentang pembangunan industrialisasi atau dalam kehidupan ekonomi, tetapi ini hanya secara parsial menerangkan tentang pemenuhan thymos yang dibutuhkan oleh masyarakat. Bagian dari kebijakan yang dapat menerangkan salah satu dimensi pemenuhan thymos adalah melalui pemenuhan akan kebutuhan pendidikan massal yang sangat diperlukan oleh lapisan masyarakat miskin. Pemenuhan thymos ini juga dapat diperoleh melalui kebanggaan akan pekerjaan, dan lain-lain.
Jousairi Hasbullah
Seameo Biotrop, Tajur Bogor 22 Mei 2007
Selasa, 10 Juli 2007
SOCIAL CAPITAL
Suatu organisasi atau perusahaan tidaklah akan menghasilkan manusia yang kreatif dan bekerja optimal bila hanya memikirkan Sumber daya manusianya saja. Sumber daya manusia masih mengandung kelemahan, atau lebih tepatnya “ketidaklengkapan”. Ia tidak lengkap karena hanya bertolak dari konsep human capital, human labour, dan intelectual capital, yang cenderung melihat manusia secara sempit. Disini manusia lebih dipandang sebagai objek ekonomi, atau sebagai kapital agar ekonomi suatu perusahaan (maupun sebuah wilayah) berkembang.
Agar kita bisa melihat manusia secara lebih utuh, maka satu lagi alat yang dibutuhkan, konsep “social capital” (modal sosial). Hanya dengan memadukan konsep human capital dan social capital, maka analisis kita kepada manusia menjadi lengkap, karena keduanya sesungguhnya saling melengkapi. Jika konsep human capital merupakan hasil dari pemikiran para ahli ekonomi, maka social capital merupakan sumbangan dari ahli-ahli ilmu sosial. Social capital melengkapi pendekatan individual otonom yang merupakan karakter utama ilmu ekonomi dalam melihat manusia.
Dalam konsep human capital, manusia dilihat sebagai objek individual, merupakan kapital ekonomi, dan pengembangannya adalah dengan peningkatan kapasitas individual misalnya berupa peningkatan pengetahuan dan keterampilan. Sebaliknya, social capital melihat manusia sebagai makhluk sosial, yaitu bentuk relasi apa yang terjadi ketika manusia berinteraksi dengan manusia lain. Jika sebuah komunitas digambarkan dalam suatu rangkaian berupa titik (nodes) dan garis (lines), maka human capital menunjuk kepada “titik” sedangkan social capital menunjuk kepada “garis”.
Dalam pandangan yang lebih modern, manusia (human beings) tidak hanya dipandang semata-mata sebagai sumber daya yang pasif dan bekerja sesuai kontrak belaka, namun dipandang sebagai makhluk sosial (social beings) yang dicirikan oleh daya kreatifitasnya yang tak dapat dikalahkan oleh makhluk lain di bumi ini. Manusia dihargai karena memiliki intellectual capital.
Konsep social capital dapat diterapkan untuk upaya pemberdayaan masyarakat. World Bank memberi perhatian yang tinggi dengan mengkaji peranan dan implementasi social capital khususnya untuk pengentasan kemiskinan di negara-negara berkembang. Menurut definisi World Bank, social capital adalah “…a society includes the institutions, the relationships, the attitudes and values that govern interactions among people and contribute to economic and social development”.
Social capital menjadi semacam perekat yang mengikat setiap individu dalam suatu komunitas. Di dalamnya berjalan “nilai saling berbagi” (shared values) serta pengorganisasian peran-peran (rules) yang diekspresikan dalam hubungan-hubungan personal (personal relationships), kepercayaan (trust), dan common sense tentang tanggung jawab bersama.
Jadi, elemen utama dalam social capital mencakup norm, reciprocity, trust, dan network. Social capital tercipta dari ratusan sampai ribuan interaksi antar orang setiap hari. Ia tidak berlokasi di diri pribadi atau dalam struktur sosial, tapi pada space between people. Ia menjadi pelengkap institusi.
Social capital merupakan fenomena yang tumbuh dari bawah, yang berasal dari orang-orang yang membentuk koneksi sosial dan network yang didasarkan atas prinsip kepercayaan dalam hubungan yang saling menguntungkan (mutual reciprocity). Ia tidak dapat diciptakan oleh seorang individual, namun sangat tergantung kepada kapasitas masyarakat.
Pada level mikro, social capital memfungsikan keteraturan sosial (social order) bersama-sama dengan perasaan bersama dan sikap berbagi (sense of belonging and shared behavioral norms). Sebagian ahli menganalogkan social capital sebagai “sinergi” yang dimiliki komunitas tersebut. Komunitas yang bersinergi tinggi adalah komunitas yang bekerjasama dengan kuat, sementara komunitas yang bersinergi rendah cenderung individualistis.
Dalam pandangan yang lebih modern, manusia (human beings) tidak hanya dipandang semata-mata sebagai sumber daya yang pasif dan bekerja sesuai kontrak belaka, namun dipandang sebagai makhluk sosial (social beings) yang dicirikan oleh daya kreatifitasnya yang tak dapat dikalahkan oleh makhluk lain di bumi ini. Manusia dihargai karena memiliki intellectual capital.
Konsep social capital dapat diterapkan untuk upaya pemberdayaan masyarakat. World Bank memberi perhatian yang tinggi dengan mengkaji peranan dan implementasi social capital khususnya untuk pengentasan kemiskinan di negara-negara berkembang. Menurut definisi World Bank, social capital adalah “…a society includes the institutions, the relationships, the attitudes and values that govern interactions among people and contribute to economic and social development”.
Social capital menjadi semacam perekat yang mengikat setiap individu dalam suatu komunitas. Di dalamnya berjalan “nilai saling berbagi” (shared values) serta pengorganisasian peran-peran (rules) yang diekspresikan dalam hubungan-hubungan personal (personal relationships), kepercayaan (trust), dan common sense tentang tanggung jawab bersama.
Jadi, elemen utama dalam social capital mencakup norm, reciprocity, trust, dan network. Social capital tercipta dari ratusan sampai ribuan interaksi antar orang setiap hari. Ia tidak berlokasi di diri pribadi atau dalam struktur sosial, tapi pada space between people. Ia menjadi pelengkap institusi.
Social capital merupakan fenomena yang tumbuh dari bawah, yang berasal dari orang-orang yang membentuk koneksi sosial dan network yang didasarkan atas prinsip kepercayaan dalam hubungan yang saling menguntungkan (mutual reciprocity). Ia tidak dapat diciptakan oleh seorang individual, namun sangat tergantung kepada kapasitas masyarakat.
Pada level mikro, social capital memfungsikan keteraturan sosial (social order) bersama-sama dengan perasaan bersama dan sikap berbagi (sense of belonging and shared behavioral norms). Sebagian ahli menganalogkan social capital sebagai “sinergi” yang dimiliki komunitas tersebut. Komunitas yang bersinergi tinggi adalah komunitas yang bekerjasama dengan kuat, sementara komunitas yang bersinergi rendah cenderung individualistis.
Langganan:
Postingan (Atom)